Palembang, Sumsel – Mitrapolri.com
DR. H. Ahmad Yaniarsyah Hasan, SE., MM. salah satu terdakwa perkara dugaan korupsi jual beli gas di PDPDE Sumsel, yang mana terdakwa dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung RI yang menuntut dirinya dengan tuntutan 18 tahun penjara, sidang di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Palembang, dengan agenda Duplik menanggapi pledoi dari penasehat hukum Yaniarsyah Hasan. Rabu (8/6/2022).
Sidang diketuai oleh Majelis Hakim Yoserizal SH MH dihadiri juga oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejagung RI, dalam Duplik yang disampaikan dalam persidangan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung membantah semua apa yang disampaikan Penasehat Hukum Yaniarsyah pada pledoi yang digelar pekan Kemarin.
Saat diwawancarai tim penasehat hukum terdakwa Yaniarsyah yaitu Kamal Farzah, Ifdhal Kasim dan Aristo mengatakan, pihak JPU mengabaikan semua apa yang kami sampaikan pada pledoi kemarin, disini klien kami tidak ada sama sekali melakukan tindak pidana korupsi apalagi merugikan keuangan negara, karena gas ini sudah dikelola oleh swasta dan gas yang diperjual belikan itu statusnya bukan lagi gas negara.
- BACA JUGA : Disbudpar Aceh Dorong Peningkatan Profesionalitas Pendamping Desa Wisata
- BACA JUGA : Ketum SWI: Semua Pengurus Harus Sukseskan Deklarasi dan Rakernas
- BACA JUGA : Kasus Korupsi Lahan Rusun di Cengkareng, Bareskrim Amankan Aset Senilai Rp 700 Miliar
“Karena bukan lagi gas negara Sehingga gas tersebut tidak dapat dinilai sebagai uang negara, sebagaimana yang dimaksud oleh undang-undang baik UU Tipikor maupun UU Pembendaharaan Negara, jadi mana yang dikatakan merugikan keuangan negara, perkara ini terlalu dipaksakan”, ungkap Aristo.
Aristo juga mengatakan, kalau kita berpegang pada pendapat ahli yang sempat dihadirkan diantaranya, ahli Dian Budi Simatupang, Malinda dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Saroza dari Universitas Indonesia (UI) ahli gas yang bekerja di Kementrian ESDM mengatakan bahwa gas tersebut bukan lagi gas negara.
“Investasi yang dilakukan oleh PDPDE Sumsel sebesar kurang lebih Rp.300 Milyar tanpa modal dari PDPDE Sumsel Pemerintah Daerah mendapatkan PAD besar setiap tahun nomor dua setelah Medco Energi, pertanyaannya apakah ini tidak dinilai sebagai keuntungan negara,” ujar Aristo.
Harusnya BPK menilai, ketika kami pertanyakan dalam persidangan pihak BPK belum secara spesifik melakukan audit berkaitan dengan bisnis gas, sehingga kami meragukan validitas hasil perhitungan kerugian negara.
“Kalau satu unsur tidak terpenuhi terkait kerugian negara, bagaimana bisa dibilang perbuatan melawan hukum karena perbuatan melawan hukum harus bekolerasi dengan kerugian keuangan negara, kalau ada merugikan keuangan negara dapatkah seseorang dimitai pertanggung jawaban pidana, harusnya kalau ini objektif Majelelis Hakim bertumpuh pada naluri keadilan harusnya memberikan putusan bebas terhadap klien kami,” pungkasnya.
(M. TAHAN)