SULTENG – MITRAPOLRI.COM
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng dalam menangani kasus dugaan korupsi PU Sigi patut dipertanyakan. Kembali di kejaksaan tinggi karna melihat KEBERANIAN kejaksaan tinggi yang di pimpin AGUS Salim SH MH.
Pasalnya, lima bulan bergulirnya kasus yang menyeret Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sigi Iskandar Nontji dan Direktur PT Mahardika Fahruddin Yunus, belum ada penetapan tersangka. Hilang tampa kabar. Kerugian negara sebesar Rp 9.4 Miliar.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang tertera dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP, bahwa penyidikan yang dimaksudkan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindakan pidana dan guna menemukan tersangkanya.
“Jadi, ketika suatu kasus dugaan tindak pidana korupsi sudah ditahap penyidikan dan belum ada tersangkanya. Maka itu patut dipertanyakan. Nah memang sudah harus ada tersangkanya, sesuai KUHAP menyatakan sudah ada bukti permulaan skurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan alat bukti tersebut merupakan hasil penyelidikan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” katanya.
Penyelidikan dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader). Meskipun dalam Pasal 1 butir 5, maupun Pasal 5 KUHAP tidak ditegaskan perkataan pelaku atau tersangka. Dengan demikian, sudah tepat jika penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai tindak pidana.
“Sehingga, tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidanap pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti. Supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang. Agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya,” tegasnya.
“Kalau misalnya penyidikan dugaan kasus korupsi berjalan selama lima bulan dan tersangkanya belum ditetapkan itu terlalu lama. Adakan namanya azaz peradilan cepat sederhana dan biaya ringan, berdasarkan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maka kasus seperti itu harus cepat pemeriksaannya,” jelasnya.
Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 25 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa penyidikan, penuntutanp, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya, dan mendahulukan penanganan kasus korupsi merupakan amanat undang-undang yang harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum.
“Dalam penanganan kasus seperti ini dikenal dengan pembuktian terbalik dan ini menyangkut asas lex spesialis derogate lex generalis atau ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Sehingga didahulukannya kasus korupsi yan akan mendorong terciptanya ketertiban hukum yang berkeadilan, karena kasus korupsi yang sering bernuansa politis, apabila dalam penanganannya tidak dilakukan secara cepat dan fokus maka akan melahirkan ketidaktertiban,” ungkapnya.
- BACA JUGA : Keberanian dan Kejujuran Sekda Kota Sabang Patut Kita Apresiasi
- BACA JUGA : BFLF Lhokseumawe bersama Camat Muara Batu Serahkan Wakaf Al-Qur’an Untuk TPQ Al Jannah Muara Batu
- BACA JUGA : Pacu Semangat Siswa Dalam Berorganisasi, SMAN 1 Pedamaran Gelar Pelantikan Pengurus OSIS Masa Bakti 2022-2023
“Serta nuansa politis ini akan mendorong lahirnya tarik menarik kepentingan yang dapat memicu respon negatif dari suporter (politik), pihak yang terkait kasus korupsi. Respon negatif ini biasanya mewujud dalam bentuk aksi demonstrasi atau unjuk rasa dan mendorong pihak lain khususnya masyarakat anti korupsi semakin meningkatkan tekanan publik dan bahkan bisa jadi, hilangnya kepercayaan publik terhadapa para penegak hukum,” ujarnya.
Berlandaskan Undang-undang Pasal 1 butir 4 yang memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 KUHAP, bahwa kewajiban penyelidikan adalah menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
“Sedangkan perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa, penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, membawa dan menghadapkan seseoarang pada penyelidik serta membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat 1 huruf a dan huruf b kepada penyidik,” tutur Ketua LP2KP ahmad K ADAM.
Sebelumnya Kasi Penkum dan Humas Kejati Sulteng ditemui di kantornya, Selasa (9/5/2017) mengakui bahwa Kejati Sulteng belum menemukan cukup bukti untuk menetapkan tersangka.
“Belum ada tersangka, karena belum cukup bukti,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini Kejati Sulteng masih mendalami kasus ini untuk mencari cela, siapa yang bisa ditetapkan tersangka. Pasalnya, saat ini tim penyidik masih bekerja untuk memperdalam kasus tersebut.
“Biarkan dulu tim bekerja, nanti akan disampaikan oleh Kajati nantinya itu,” kata KETUA LP2KP Sulawesi.
Kasus dugaan korupsi pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sulawesi Tengah atas dugaan kerugian negara pada proyek pembangunan jalan Sadaunta-Lindu di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Proyek ini senilai Rp7, 708, 641,000,000 tapi realisasinya hanya Rp 6,258,475,440. Laporan BPK RI menyebutkan terjadi kerugian negara Rp1,152,769,260.
Kemudian paket pembangunan jalan Peana-Kalamanta yang menelan anggaran Rp 20,348,000,000, tapi realisasi dana hanya senilai Rp 17,092,320,000. Sehingga diduga telah terjadi kerugian negara Rp8,256,788,759.
Total dugaan kerugian negara pada dua paket proyek pembangunan jalan itu, menurut hasil audit BPK RI, mencapai sekitar Rp9,4 miliar.
Kasus ini menyeret Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sigi Iskandar Nontji dan Direktur PT Mahardika Fahruddin Yunus. Keduanya telah memberikan keterangan kepada penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah di Jalan Samratulangi, Kota Palu, pada akhir Desember 2016.
Juga ada tiga staf dinas PU Sigi lainnya, yang dianggap berkaitan erat dengan dua paket proyek itu. Proyek itu dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2015 melalui dana alokasi khusus.
Pihak penyidik Kejati Sulteng juga telah memeriksa tiga anggota DPRD Sigi terkait dugaan korupsi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Sigi tersebut.
(D.N)