Kupang, NTT – Mitrapolri.com
Oktober kali ini terlalu liar untuk direngkuh.
Ada tipu muslihat yang menerkam dengan keras, ada pemberdayaan yang tak tahu malu dari para pemegang jabatan, ada banyak harga diri yang diinjak ke dalam tanah; mustahil untuk dicongkel ke atas. Sementara itu di bawah pohon sana, di atas daun kering sana, ada teruna-teruna yang menangis. Mereka meratapi nasib yang tentunya ditentukan bukan oleh Tuhan melainkan pemerintah.
Anak-anak kecil itu tumbuh dalam ketakutan
Orang-orang muda perlahan menjadi tua oleh dendam dan dengki, Para tetua akhirnya mati dalam pelarian, tanpa rumah dan tanpa tanah leluhur.
Adakah nista yang lebih kejam dari ini? Ketika kebijakan tidak memanusiakan manusia, ketika yang berkuasa buta mata dan tak punya hati nurani.
Manakah yang lebih bengis? Dijajah oleh bangsa asing atau digusur keluarga setanah air?
- BACA JUGA : Berhentikan Tilang Manual di Jalan, Polresta Manado Kini Terapkan ETLE atau Tilang Elektronik
- BACA JUGA : Cegah Penyakit Masyarakat, Samapta Polresta Banyumas Amankan Puluhan Botol Miras
- BACA JUGA : Satu Unit Ponton Binaan CV BRR Diamankan Tim Polairud Polresta Pangkalpinang bersama Pam Aset PT Timah
Hari ini, hari di mana sumpah serapah pernah dimeteraikan. Kami tak ingin lagi memegang apapun selain memeluk dada sendiri lalu bilang, “rupanya penguasa di bumi pertiwi tak lagi sejinak dulu.”
Mereka yang telanjang tanpa harapan Mereka yang lapar kemanusiaan Mereka yang memimpikan keadilan Haruskah mereka munafik dengan mengatakan, “sudah genap?”
Cecak di dinding tertawa pelan, tak apa-apa untuk hidup melarat, asal sumpah hidup di atas kertas, meski mati dalam rasa yang asa.
Salam.
Untuk Besipae, 28 Oktober 2022
🍂
(MEYDI SIMON LEGIFANI)