JAKARTA – MITRAPOLRI.COM |
Ketua Koordinator Nasional Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) Indonesia, Jeny Claudya Lumowa, dengan tegas menyuarakan keprihatinannya terhadap ketidakadilan yang masih terjadi di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
“No viral, no justice,” ungkapnya, menegaskan bahwa keadilan sering kali baru didapat setelah kasus menjadi viral. Hal ini disampaikan kornas TRCPPA pada kamis 06/03/2025.
Jeny mengaku menerima laporan rahasia dari dalam Lapas Perempuan Kelas II Medan mengenai dugaan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh Kepala Lapas. Ia menyebut bahwa warga binaan kerap dipukul dan diberikan hukuman berat yang tidak manusiawi.
“Ada strap sell, padahal ini bulan Ramadan, seharusnya tidak perlu ada hukuman seperti itu. Akhirnya mereka tidak bisa tarawih,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan adanya dugaan praktik tidak adil di dalam lapas, di mana warga binaan yang berasal dari kalangan kaya mendapat perlakuan istimewa.
“Kalapas ini diduga sering membawa warga binaan kaya keluar jalan-jalan di jam 2 malam. Apesnya, kali ini yang disiksa adalah Felix,” ujarnya.
Menurutnya, perlakuan kejam ini justru akan membuat para narapidana semakin trauma dan melahirkan generasi penuh dendam.
Jeny juga mengingatkan bahwa tidak semua yang berada di balik jeruji besi adalah orang yang bersalah. Banyak yang masuk penjara karena tidak memiliki uang, koneksi, atau kemampuan untuk ‘bermain’ dalam sistem.
“Kalau miskin, ya terimalah. Ada yang terpaksa menjadi tukang cuci pakaian warga binaan lain hanya agar bisa bertahan hidup dan mendapatkan makanan yang lebih layak di kantin,” tuturnya.
- BACA JUGA : YARA Duga Banyak WNA Bervisa Wisata Namun Malah Bekerja
- BACA JUGA : Kapolresta Manado Pimpin Upacara Serah Terima Jabatan Sejumlah Pejabat Polresta Manado
- BACA JUGA : SSDM Polri Gelar Trauma Healing untuk Korban Banjir di Tambun Utara
Ia mengungkapkan bahwa kehidupan di dalam penjara merupakan “dunia dalam dunia,” di mana bisnis ilegal masih terus berjalan.
“Siapa bilang narkoba tidak bisa masuk? Satu kali masuk, oknum sopir bisa dapat Rp2,5 juta. Kalau ingin makanan dari luar, bayar dua kali lipat harga. Bahkan, setiap keluarga yang berkunjung sering kali harus ‘setor’,” bebernya.
Lebih mencengangkan lagi, Jeny mengungkap adanya praktik dugaan jual beli hukum di tingkat Kejaksaan.
“Di Medan, orang miskin tak akan dapat keadilan. Tersangka bisa diajak negosiasi berapa bulan hukumannya, bahkan ada oknum jaksa yang menawarkan ‘tukar badan’ bagi tersangka perempuan yang tidak punya uang,” katanya.
Ia juga menyinggung bahwa dalam sistem ini, mulai dari hakim hingga jaksa, sudah ada ‘paket harga’ yang ditentukan.
Terakhir, Jeny mempertanyakan mengapa Polisi sering dijadikan kambing hitam atas ketidakadilan hukum di Indonesia.
“Jawabannya karena polisi langsung bersentuhan dengan masyarakat,” tegasnya.
Dengan semangat nasionalisme, ia menutup pernyataannya dengan, “Salam Merah Putih. Hormat Presisi!”
(P. GL)