Aceh – Mitrapolri.com |
Transparansi Tender Indonesia (TTI) menyesalkan sikap Penjabat Bupati dan Wali Kota ikut campur terlalu jauh (cawe-cawe) dalam menentukan pemenang tender. Indikasi pengaturan pemenang tender terlihat jelas dari sedikitnya peminat yang ikut penawaran. Penawaran yang masuk biasanya sudah diatur siapa siapa saja yang bakal dimenangkan.
Tidak ada lagi yang namanya tender terbuka, transparan, bersaing sehat, semua sudah diatur. Aparat penegak hukum tidak bisa berbuat apa apa kadang-kadang ada juga oknum APH yang dapat jatah proyek sehingga tugas penegakan hukum tidak bisa maksimal.
- BACA JUGA : Kapolda Sumut Pimpin Upacara Sertijab Pejabat Utama dan Kapolres Jajaran Polda Sumut
- BACA JUGA : Selamat Atas SK Baru Kades 8 Tahun, JPKP OKI Menyoroti: Kejari Harus Siapkan Kamar Baru
- BACA JUGA : Siapa Dibalik Maraknya Galian C di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor yang Notabene Tidak Ada Izin??
Kenapa Pokja Pemilihan berani melawan hukum karena mereka merasa dilindungi oleh oknum oknum penegak hukum sendiri. Bisa dibayangkan berapa dana di Korupsi setiap tahun misalkan ada tender 100 Milyar kalikan 10% ada 10 Milyar menguap dan mengalir kepada Pejabat dan Aparat. Jika tender bebas selisih penawaran bisa dikembalikan kepada Negara.
Proses penunjukan Penjabat juga butuh loby-loby di Jakarta, banyak pihak ikut terlibat sebagai tim sukses sehingga butuh dana besar. Nah, alasan itulah digunakan oleh Penjabat Bupati dan Walikota untuk mengumpulkan uang dari fee proyek.
Tugas Penjabat sebenarnya bukan mengatur proyek akan tetapi melaksanakan kegiatan Administrasi Pemerintahan dan persiapan pilkada serentak hanya itu tugas penjabat.
sumber : Nasruddin Bahar Koordinator
Transparansi Tender Indonesia (TTI)