Yogyakarta – Mitrapolri.com |
Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menilai kebijakan Pemerintah RI yang hingga kini belum menetapkan status darurat bencana nasional atas bencana sosial-ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bentuk bencana kebijakan yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis dan meluas.
Dalam Policy Brief No. 014/B/LSJ/XII/2025, LSJ, Sabtu (20/12/25), menegaskan bahwa hampir tiga minggu pasca-bencana banjir bandang dan longsor, dengan jumlah korban meninggal sudah mencapai 1.068 jiwa, negara justru menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakseriusan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Kerusakan infrastruktur yang masif, kelangkaan logistik, krisis air bersih, listrik, kesehatan, serta meningkatnya risiko kematian di pengungsian menjadi potret nyata kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusinya.
LSJ menilai, ketidaktegasan pemerintah menetapkan status bencana nasional bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan tindakan politik yang secara sadar membiarkan warga terdampak berada dalam kondisi “kematian sosial-ekologis”, yakni situasi ketika warga kehilangan akses atas perlindungan, bantuan maksimal, serta pemulihan hak dasar yang seharusnya dijamin negara.
“Dengan tidak menetapkan status darurat bencana nasional, negara secara implisit membiarkan warga terdampak berada dalam wilayah kematian sosial-ekologis, tanpa perlindungan hak dasar dan hak untuk pemulihan,” demikian ditegaskan LSJ dalam policy brief tersebut.
LSJ juga menyoroti penolakan pemerintah terhadap bantuan internasional, meski dunia telah menunjukkan kesiapan membantu atas dasar kemanusiaan. Kebijakan ini dinilai tidak hanya irasional, tetapi juga berlawanan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan kewajiban negara untuk mencegah penderitaan yang lebih luas.
Dalam dokumen tersebut, LSJ menggunakan kerangka “slow violence”, yaitu kekerasan struktural yang terjadi secara bertahap, sering kali tak terlihat, namun menghancurkan kehidupan warga dalam jangka panjang. Kekerasan ini muncul melalui kebijakan negara yang abai, tidak responsif, dan menunda tindakan di tengah krisis kemanusiaan.
“Kematian akibat bencana tidak lagi terjadi semata-mata sebagai peristiwa alamiah, melainkan menjadi konsekuensi dari keputusan politik yang lalai,” tulis LSJ.
LSJ menegaskan bahwa pembiaran negara terhadap penderitaan korban bencana merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia secara pasif (by omission), yakni ketika negara seharusnya aktif memenuhi dan melindungi hak warga, tetapi justru tidak melakukan kewajiban tersebut. Pelanggaran ini mencakup hak atas standar hidup layak, hak untuk bebas dari kelaparan, serta hak atas perumahan dan pemulihan kondisi hidup, sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia.
Selain aspek kemanusiaan, LSJ menekankan bahwa bencana sosial-ekologis di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari kebijakan eksploitasi lingkungan secara eksesif, termasuk deforestasi, izin konsesi skala besar, dan aktivitas pertambangan yang merusak daya dukung lingkungan. Kebijakan pro-eksploitasi ini dinilai sebagai faktor utama yang memperparah dampak bencana dan memperluas krisis kemanusiaan.
- BACA JUGA : Masjid Terbantu, Warga Terbina: Aksi Sosial Dirut PT Green Palma Pebriyan Winaldi di Jatirejo Indragiri Hulu
- BACA JUGA : Ketua Umum LMPI Tutup Usia, Mada LMPI Sulawesi Selatan di Makassar Berduka
- BACA JUGA : Wali Kota Sabang Pastikan Harga Stabil, Pasar Murah Digelar di Tiga Kecamatan
“Gagalnya pemerintah membentengi hak konstitusional warga negara merupakan pengingkaran terhadap mandat konstitusi dan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan karena terjadi secara meluas dan terstruktur,” tegas LSJ.
LSJ juga mengkritik keras memburuknya kebebasan pers dalam situasi kebencanaan. Sejumlah tindakan intimidatif terhadap jurnalis, perampasan bantuan logistik oleh aparat dengan dalih pengamanan, serta penghapusan karya jurnalistik dinilai mencederai hak publik atas informasi dan semakin menutup ruang akuntabilitas negara di tengah krisis.
Di sisi lain, absennya perhatian khusus terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas menjadi bukti lemahnya perspektif hak asasi manusia dalam penanganan bencana. Minimnya sanitasi layak, ruang privasi, dan akses tempat pengungsian yang manusiawi dinilai sebagai kegagalan serius negara memenuhi standar minimum kemanusiaan.
LSJ mencatat, langkah progresif justru ditunjukkan oleh Pemerintah Aceh yang telah menyurati dua lembaga PBB, yakni UNDP dan UNICEF, untuk terlibat dalam pemulihan pasca-bencana. Situasi ini memperlihatkan kontras tajam antara kebutuhan mendesak di lapangan dengan lambannya keputusan politik pemerintah pusat.
Atas dasar itu, LSJ mendesak Pemerintah RI untuk segera menetapkan bencana sosial-ekologis di Sumatera sebagai bencana nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penetapan tersebut dinilai krusial untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat pemulihan, serta mencegah penderitaan warga yang lebih luas.
LSJ juga menegaskan pentingnya audit dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan ekologis, serta mengingatkan bahwa kegagalan negara menjalankan mandat konstitusi berpotensi melahirkan bencana kebijakan yang masuk dalam kategori tindakan tidak manusiawi (other inhumane acts) sebagaimana dikenal dalam elemen kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Jika desakan ini terus diabaikan, maka rezim pemerintahan saat ini justru memperdalam ketidakadilan sosial dan menambah kompleksitas bencana kebijakan yang berdampak luas terhadap kemanusiaan,” tulis LSJ.
Peneliti dan Dosen LSJ FH UGM
I. G. Agung Wardana, Herlambang P. Wiratraman; Richo Andi Wibowo, Patricia Nerissa Krisna Putri, Adhitiya Augusta Triputra, Yusuf Adi Wicaksono, Stephanie Tiara Christina, Faiz Rahman, Jeremi Syafa’at Umbu Lamba Awang, Alvino Kusumabrata, Zahlul Pasha Karim, Fatiha Reva Sofia, Ardianto Budi Rahmawan; Abdul Munif Ashri, Sartika Intaning Pradhani; Virga Dwi Efendi, Zaky Badruzzaman; Yamuna Nurafifah, Putri Perdana, Prajna Ramandhani Narendraduhita,Markus Togar Wijaya, Uun Zahrotunnisa.
(T. Ridwan, SH)




