Opini : Putri Solideo Sinaga |
Berbagai temuan terkait adanya tindak kecurangan pada masa kampanye pemilu serentak 2024 menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat.
Konflik itu tampak sejak tahap pencalonan, memasuki tahap masa tenang, hingga hari kampanye tiba. Banyaknya dugaan terkait
penyalahgunaan fasilitas negara, politik uang yang menjadi dominasi dalam temuan tindak kecurangan ini.
Selain itu telah ditemukan sebanyak 49 aduan publik dalam website http://kecuranganpemilu.com sejak diluncurkan pada 7 Januari 2024.

Capres 01 Anies Baswedan menyampaikan terjadinya kecurangan atau pelanggaran Pemilu 2024 di sidang perdana gugatan sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu (27/3/2024).
Selain itu banyak sekali artikel yang tersebar di media massa terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 ini.

Oleh karena hal itu banyak sekali pihak yang memberi saran agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hak angketnya. Hak angket merupakan hak yang dimiliki oleh DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-undang atau kebijakan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut opini saya sendiri, melihat banyaknya konflik dan asumsi yang tidak jelas terkait pemilu ini pengajuan hak
angket oleh DPR merupakan hal yang
lumrah dan konstitusional menurut saya. Hal ini baik untuk dilakukan ketika terjadi
konflik yang tak kunjung ditemukan solusinya.
Apalagi pengajuan hak angket juga pernah dilakukan dan berlaku. Ketika Pemilihan Legislatif tahun 2009 lalu untuk memastikan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki banyak hak atas konflik ini dan menggunakannya sesuai permasalahan apa yang dibahas.
Menurut opini saya, konflik ini berhubungan dengan kehidupan bernegara terkait siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini. Tentu saja setiap warga negara
mengharapkan pemimpin yang melalui
proses demokrasi yang bersih dan utamanya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Berita terkait pengajuan hak angket tentu saja menuai pro dan kontra ditengah
masyarakat. Banyaknya pihak yang kontra mengangggap pengajuan hak angket hanya akan digunakan sebagai alat untuk bargaining politik.
Bargaining merupakan proses negoisasi antar kedua belah pihak untuk memaksimalkan hasil yang menguntungkan diri sendiri. Akan tetapi pengajuan hak angket ini pasti melalui proses yang panjang.
Selain membutuhkan solidaritas antar partai politik, pengajuan ini harus disertai dengan dokumen yang memuat minimal materi kebijakan atau pelaksanaan UU yang ingin diseidiki beserta alasan penyelidikannya.
Setelah mendapat persetujuan, DPR mulai membentuk panitia khusus yang dianggotakan WNI, WNA, badan hukum hingga masyarakat sebagai pemberi keterangan.

Pengajuan hak angket ini pun
dasarnya hanya untuk menyelidiki konflik yang terjadi bukan membatalkan hasil pemilu. Apabila tidak ditemukan dugaan
terkait kecurangan pemilu maka usul hak
angket dianggap selesai dan tidak dapat diajukan kembali pada periode keanggotaan DPR yang sama.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyuarakan desakan agar lembaga parlemen tersebut menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 di tengah rapat paripurna pada Selasa (05/03/24).
Pengajuan hak angket tersebut sejauh ini masih usulan dan belum ada langkah konkret untuk digulirkan lebih lanjut. Sampai saat ini belum terdapat satu pun fraksi yang secara jelas kapan menyerahkan tanda tangan terkait pengajuan hak angket secara resmi.
Beberapa fraksi masih diam dan belum menunjukkan sikap. Terlebih diketahui, syarat pengajuan hak angket DPR tercantum dalam Pasal 199 Undang-Undang MD3. Ayat (1) menyebutkan hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
– Jember, 28 Maret 2024
(red/tim)