Oleh: Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang dan Jasa
Kampus Ternama, Tapi Buta Hukum?
Di negara hukum, siapa pun—termasuk lembaga pendidikan tinggi—harus tunduk pada hierarki perundang-undangan. Tapi Universitas Syiah Kuala (USK), kampus negeri berbadan hukum yang seharusnya jadi teladan, justru menunjukkan kebalikannya: mereka menjadikan Peraturan Rektor sebagai dasar untuk memutus kontrak dan menjatuhkan sanksi blacklist terhadap penyedia.
Ini bukan hanya keliru. Ini cacat hukum yang memalukan. Karena sejatinya, peraturan rektor tidak punya posisi dalam struktur hukum nasional.
Peraturan Rektor ≠ Peraturan Presiden
Mari kita buka lagi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (jo. UU No. 13 Tahun 2022). Di situ disebut jelas:
Hierarki hukum nasional hanya mengakui:
1. UUD 1945
2. UU / Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda Provinsi
6. Perda Kabupaten/Kota
Pertanyaannya: Di mana letak Peraturan Rektor dalam hierarki ini? Jawabannya: tidak ada. Alias: tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum sanksi administratif yang mengikat pihak luar, apalagi untuk menyingkirkan pelaku usaha dari pengadaan nasional.
Mereka yang Bertanggung Jawab
Berikut adalah nama-nama pejabat yang secara struktural dan administratif bertanggung jawab atas penggunaan dasar hukum palsu dalam perkara ini:
🔹 Prof. Dr. Ir. Marwan, M.Sc., Rektor Universitas Syiah Kuala sekaligus Pengguna Anggaran (PA), adalah aktor utama yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 476/UN11/KPT/2024 dan menunjuk langsung Pokja Tender serta struktur pelaksana proyek.
🔹 Prof. Dr. Taufiq Saidi, M.Eng.Sc., Wakil Rektor IV, bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan turut melegitimasi seluruh proses pengadaan, pelaksanaan, dan pemutusan kontrak.
🔹 Dr. Ir. Suriadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng., dosen Teknik Sipil yang bertindak sebagai PPK Pelaksana Konstruksi, adalah pihak yang menerbitkan surat pemutusan kontrak secara sepihak dan menyisipkan ancaman blacklist.
🔹 Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM., dosen teknik yang juga menjabat sebagai PPK Perencana dan Pengawas, bertanggung jawab dalam pengelolaan pengawasan proyek, termasuk pembayaran 100% kepada konsultan pengawas yang sarat manipulasi.
🔹 Zedi Fajri, ST., selaku Direktur CV. Sarena Consultan, berperan sebagai Konsultan Pengawas, yang justru menyusun laporan progres 77,74% dan menyatakan pengawasan selesai padahal pekerjaan belum diserahterimakan (PHO).
Standar Ganda: Ketika Hukum Dipakai Sesuka Hati
Yang lebih mengerikan dari pelanggaran hukum adalah ketika hukum dipilih-pilih sesuka kehendak. Itulah yang terjadi di Universitas Syiah Kuala.
- BACA JUGA : Polisi Aceh Barat Tangkap Pengedar Narkoba, 51,6 Gram Sabu Diamankan
- BACA JUGA : Keturunan Teuku Adnan Nagan Raya Gelar Halal Bihalal
- BACA JUGA : Ketua DPP Elang 3 Hambalang Desak APH Menyelidiki Secara Menyeluruh Dugaan Kepemilikan Lahan Hutan Lindung oleh Bupati Kampar
• Saat dokumen tender disusun, mereka tunduk pada Perpres 16 Tahun 2018 jo. 12 Tahun 2021.
• Tapi saat ingin memutus kontrak dan menjatuhkan blacklist, mereka berpindah ke Peraturan Rektor Nomor 54 Tahun 2023.
Ini bukan kekeliruan teknis. Ini adalah manuver hukum yang disengaja—menggunakan aturan tertinggi saat mengikat penyedia, lalu menggantinya dengan aturan internal saat ingin menghukum penyedia tanpa prosedur.
Apakah ini bukan bentuk standar ganda yang vulgar?
Lebih jauh, mekanisme blacklist yang diwajibkan oleh Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2021, seperti evaluasi oleh PA/KPA atau APIP, sama sekali tidak dijalankan. USK memilih jalan pintas: menyisipkan ancaman blacklist langsung ke dalam surat pemutusan kontrak.
Dengan kata lain, mereka ingin terlihat sah, tapi tanpa melalui proses yang sah.
Ini Bukan Sekadar Kesalahan: Ini Perbuatan Melawan Hukum
Menggunakan dasar hukum yang tidak sah untuk menghukum penyedia merupakan pelanggaran terhadap:
• Asas legalitas administratif
• Perpres 16/2018 & 12/2021
• Peraturan LKPP Nomor 4 Tahun 2021
• Dan tentu saja, Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum
Ketika pejabat publik yang menyandang gelar akademik tertinggi (guru besar) mengabaikan hukum nasional demi logika kekuasaan lokal, maka sesungguhnya mereka bukan sedang mendidik, melainkan sedang menyesatkan.
Kalau Peraturan Rektor Jadi Dalil, Maka Hukum Tak Lagi Ada
Saya, Teuku Abdul Hannan, menyatakan bahwa praktik ini bukan sekadar cacat hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap etika pengadaan dan moralitas kelembagaan.
Universitas Syiah Kuala—kampus kebanggaan Aceh—hari ini justru dipermalukan oleh tangan para pengelolanya sendiri. Rektor, Wakil Rektor, dan para PPK yang seharusnya menjaga marwah hukum, malah menjadikan hukum sebagai alat eliminasi dan kekuasaan sepihak.
Jika ini dibiarkan, kampus tidak lagi menjadi pusat ilmu dan keadaban hukum, tetapi berubah menjadi ladang kekuasaan semu yang membajak regulasi demi kepentingan sempit.
Dan generasi mahasiswa hari ini akan menyerap satu pelajaran yang sangat berbahaya: Bahwa di negeri ini, hukum bisa dikalahkan oleh jabatan dan manipulasi.
Demikian Rilis yang disampaikan ke Mitrapolri.com.
(Bukhari)