Palangka Raya, Kalteng – Mitrapolri.com|
Dukungan terhadap tuntutan Dewan Pers Independen (DPI) dan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) soal penataan ulang dunia pers nasional bukan sekadar respons emosional daerah terhadap dinamika pusat. Ia adalah akumulasi kegelisahan panjang insan pers, terutama di daerah, yang selama ini merasa berada di pinggiran sistem. Dari Palangka Raya, suara itu kembali menguat melalui Ketua DPW Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) Kalimantan Tengah, Pickrol Hidayat. Rabu 17/12/2025
Isu yang diangkat Pickrol sesungguhnya menyentuh jantung profesionalisme pers: sertifikasi kompetensi wartawan. Sertifikasi yang idealnya menjadi alat ukur mutu dan peningkatan kapasitas, justru dalam praktiknya kerap menjelma menjadi instrumen eksklusivitas. Lebih problematis lagi, muncul dugaan penerbitan Sertifikat Kompetensi Wartawan (SKW) oleh lembaga yang tidak memiliki lisensi resmi dari pemerintah maupun Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Jika dugaan ini benar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya aspek administratif, melainkan legitimasi sistem sertifikasi itu sendiri. Sertifikasi tanpa dasar hukum dan lisensi yang sah bukan sekadar cacat prosedur, tetapi berpotensi menyesatkan, merugikan wartawan, dan mencederai kepercayaan publik terhadap profesi pers.
Bagi wartawan media lokal—terutama yang tidak bernaung di bawah organisasi konstituen Dewan Pers—situasi ini terasa makin timpang. Mereka kerap diposisikan seolah kurang kompeten, bukan karena kualitas kerja jurnalistiknya, tetapi karena tidak memiliki sertifikat dari “jalur tertentu”. Di sinilah sertifikasi beralih fungsi: dari alat peningkatan profesionalisme menjadi mekanisme diskriminasi struktural.
- BACA JUGA : Wakapolres Samosir bersama Forkopimda Pantau Harga Pasar dan Ketersediaan Sembako Jelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
- BACA JUGA : Polres Ogan Ilir Melalui Personel Polsek Indralaya Cek Langsung Lokasi Banjir di Desa Tanjung Pule
- BACA JUGA : Babinsa Koramil Tiga Balata Hadiri Upacara Hari Kesadaran Nasional di Dolok Panribuan
Padahal, secara regulatif, sertifikasi profesi di Indonesia berada dalam satu sistem nasional yang jelas, dengan BNSP sebagai otoritas negara. Ketika kewenangan ini dilampaui atau diambil alih oleh pihak yang tidak berhak, maka terjadi kekacauan tata kelola. Standar menjadi kabur, kualitas tidak lagi terjamin, dan wartawan dijadikan objek, bukan subjek pengembangan profesi.
Tuntutan agar pemerintah termasuk Presiden Republik Indonesia turun tangan bukanlah sikap berlebihan. Justru di titik inilah negara diuji: apakah hadir untuk memastikan keadilan dalam pengakuan kompetensi, atau membiarkan praktik-praktik abu-abu terus berlangsung atas nama “kebiasaan”. Penertiban lisensi lembaga uji kompetensi oleh BNSP menjadi langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan dan kepastian hukum.
Namun, kritik terhadap sistem tidak boleh berhenti pada tuntutan struktural semata. Seruan Pickrol agar insan pers “merapatkan barisan” juga mengandung pesan reflektif: bahwa kehormatan pers tidak hanya dijaga oleh sertifikat, tetapi oleh integritas, kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik, dan tanggung jawab moral kepada publik.
Pada akhirnya, sertifikasi wartawan seharusnya menjadi jalan inklusif untuk meningkatkan mutu pers nasional, bukan pagar pembatas yang menyingkirkan. Penataan ulang sistem sertifikasi adalah keniscayaan, bukan demi kepentingan organisasi tertentu, melainkan demi satu tujuan besar: menjaga marwah pers sebagai pilar demokrasi yang profesional, adil, dan berpihak pada kepentingan publik.
(4n5)




